BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, sangatlah
erat hubungannya dengan kedatangan Islam itu sendiri ke Indonesia. Dalam
konteks ini, Mahmud Yunus mengatakan, bahwa sejarah pendidikan Islam sama
tuanya dengan masuknya Islam ke Indonesia. Hal ini disebabkan karena pemeluk
agama Islam yang kala itu masih tergolong baru, maka sudah pasti akan
mempelajari dan memahami tentang ajaran-ajaran Islam. Meski dalam pengertian
sederhana, namun proses pembelajaran waktu itu telah terjadi. Dari sinilah
mulai timbul pendidikan Islam, dimana pada mulanya mereka belajar di
rumah-rumah, langgar/surau, masjid dan kemudian berkembang menjadi pondok
pesantren. Setelah itu baru timbul sistem madrasah yang teratur sebagaimana
yang dikenal sekarang ini.
Fomulasi pendidikan dalam Islam sebenarnya sangatlah
variatif. Di Indonesia misalnya, ada banyak bentuk dan jenis lembaga pendidikan
Islam. Sebut saja Pondok Pesantren, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), Madrasah,
Perguruan Tinggi Islam dan sebagainya. Dinamika sejumlah pendidikan yang dulu
terkesan terbelakang itu kini tengah mulai menunjukkan eksistensinya. Fenomena
transformasi pendidikan Islam itu kini semakin terbuka, inovatif dan modern
dengan aneka wajah barunya yang dinamis. Namun bukan berarti potensi
problematika dan tantangan pendidikan Islam ke depan sudah tidak ada dan tidak
akan muncul kembali.
Oleh karena itu, penulis menyusun makalah ini dalam rangka
memahami posisi pendidikan Islam di tengah-tengah semangat reformasi pendidikan
nasional.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana kondisi pendidikan Islam
dalam realitasnya?
2.
Bagaimana tentang isu pesantren
dan terorisme?
3.
Bagaimana kondisi lembaga
pendidikan Islam dan tantangan perubahannya?
4.
Bagaimana upaya rekonstruksi
lembaga pendidikan Islam?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
1.
Mengetahui kondisi pendidikan
Islam dalam realitasnya.
2.
Memahami tenang isu pesantren dan
terorisme.
3.
Mengetahui kondisi lembaga
pendidikan Islam dan tantangan perubahannya.
4.
Mengetahui upaya rekonstruksi
lembaga pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan Islam dalam Realitas
Perjuangan umat Islam
untuk mensejajarkan pendidikan Islam dengan pendidikan umum sebenarnya sudah
lama dimulai, tetapi hingga saat ini pendidikan Islam dapat dikatakan masih
harus diperjuangkan terus untuk mewujudkan maksud tersebut. Hal ini disebabkan oleh
eksistensi pendidikan Islam yang sering kali harus berhadapan dengan negara.
Artinya, kebijakan politik pemerintah tentang pendidikan Islam dapat dikatakan
tidak kondusif. Pendidikan Islam barulah mendapat perhatian yang cukup
signifikan setelah lahirnya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2
Tahun 1989 dan lebih dikukuhkan lagi oleh lahirnya Undang-undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam undang-undang
yang terakhir ini secara jelas terasa kesan kuat adanya pengakuan pemerintah
secara eksplisit terhadap keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Islam, mulai
dari jenjang taman kanak-kanak sampai dengan jenjang perguruan tinggi. Akan
tetapi, pengakuan pemerintah yang lebih bersifat normatif ini masih dicederai
oleh tidak berimbangnya alokasi dana pendidikan untuk lembaga pendidikan yang
berada di bawah pengelolaan Departemen Agama dibandingkan dengan yang berada di
bawah pengelolaan Departemen Pendidikan Nasional.
Jika dilihat dari
kebijakan politik pendidikan pemerintahan Indonesia, maka realitas pendidikan
Islam dapat dipetakan ke dalam empat periode. Pertama, kebijakan politik pemerintahan pada masa pra kemerdekaan; kedua, kebijakan politik pemerintahan
Indonesia pada masa Orde Lama; ketiga,
kebijakan politik pemerintahan Indonesia pada masa Orde Baru, dan; keempat, kebijakan politik pemerintahan
Indonesia pada masa reformasi.
1.
Kebijakan politik pemerintahan
pada masa pra kemerdekaan;
Ciri kebijakan politik
pendidikan Islam pada periode pertama ditandai oleh politik diskriminatif yang
sangat kental. Hal tersebut terjadi oleh karena pada periode ini, pemerintahan
dipegang dan dijalankan oleh kaum penjajah, sehingga perilaku diskriminatif
bukan saja ditujukan kepada pendidikan Islam, tetapi juga kepada umat Islam
pada umumnya dan rakyat secara keseluruhan. Sudah menjadi stigma umum bahwa
negara yang dijajah oleh Belanda selalu terpuruk dalam kebodohan dan
keterbelakangan. Hal ini berbeda dengan negara-negara yang dijajah oleh Inggris
yang relatif lebih maju dan tercerahkan. Walaupun begitu, tidak ada satupun
negara di dunia ini yang mau dijajah oleh negara lain, termasuk oleh negara
Inggris sekalipun.
2.
Kebijakan politik pemerintahan
Indonesia pada masa Orde Lama;
Berbeda dengan periode
pertama, pada periode kedua yaitu pada masa Orde Lama, pendidikan Islam sudah
mulai mendapatkan perhatian, seperti adanya upaya memperbarui dan memperbanyak
lembaga pendidikan Islam yang lebih bermutu sejalan dengan tuntutan zaman.
Walaupun begitu, upaya
tersebut dalam kenyataan tidaklah berjalan mulus. Sebab, ketika itu pemerintah
Orde Lama mengakomodasi tiga kekuatan-nasionalis, sekularis-komunis, dan
islamis yang saling tarik menarik dan tentu saja kelompok sekularis-komunis
sangat menentang pemberdayaan umat Islam, termasuk pendidikan Islam. Hal ini
logis mengingat idiologi komunis sangat bertentangan dengan idiologi yang
dianut oleh kalangan islamis.
3.
Kebijakan politik pemerintahan
Indonesia pada masa Orde Baru;
Sejak berkuasanya Orde
Baru tahun 1966, umat Islam banyak berharap agar wajah pendidikan Islam
mendapat perhatian yang serius. Akan tetapi, harapan ini juga belum terwujud
karena banyak kebijakan politik pemerintahan Orde Baru yang terkadang kurang sejalan
dengan keinginan umat Islam. Hal ini disebabkan karena pemerintahan Orde Baru
terlalu kuat didukung oleh militer yang bekerja sama dengan teknokrat dan
birokrat sipil.
Dukungan militer yang
terlalu kuat ini menyebabkan pemerintah kurang tertarik memberi perhatian yang
memadai terhadap berbagai keinginan umat Islam. Barulah pada awal tahun
1990-an, ketika dukungan militer kepada pemerintah banyak menuai kritik, maka
pemerintah pun berpaling kepada umat Islam dengan memberi perhatian signifikan
untuk mendapatkan simpati.
4.
Kebijakan politik pemerintahan
Indonesia pada masa reformasi
Kini, pendidikan Islam
telah memasuki periode keempat yang lebih dikenal dengan periode reformasi.
Periode ini di antaranya ditandai oleh semakin berkembangnya wacana demokrasi.
Sebagai contoh dapat dilihat dari lenyapnya berbagai aturan yang dipandang
sangat memasung kebebasan mahasiswa dalam melakukan berbagai kreativitasnya.
Mereka dapat merancang berbagai program sesuai dengan aspirasi yang berkembang.
Walaupun begitu, harus pula diakui bahwa masih ada sejumlah kebijakan yang
pernah diterapkan oleh orde sebelumnya masih belum sepenuhnya dihapus.
Sentralisasi pendidikan seperti dalam hal kurikulum, ujian, akreditasi,
anggaran, dan berbagai aturan lainnya belum jauh berbeda dengan yang pernah
diterapkan oleh Pemerintah Orde Baru.
B.
Pesantren dan Terorisme
Di masa lalu, ketika
bangsa ini masih menghadapi penindasan kaum penjajah, pesantren telah memainkan
peranan penting berupa menggerakkan, memimpin, dan melakukan perjuangan dalam
rangka mengusir kaum penjajah. Seorang pakar sejarah dari Universitas
Padjadjaran, Muhammad Mansur Suryanegara, sebagaimana dikutip Ahmad Tafsir,
menyatakan bahwa sulit mencari gerakan melawan penjajah di Indonesia yang bukan
digerakkan dan dipimpin oleh orang pesantren. Oleh karena itu, dalam mengisi
kemerdekaan ini, pemerintah seringkali menggunakan pesantren untuk melakukan
sosialisasi berbagai programnya. Hal ini wajar, sebab pesantren secara riil
memang memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap komunitasnya dan masyarakat
sekitar.
Apalagi institusi
pesantren, sebagaimana disinyalir Azra, termasuk salah satu lembaga pendidikan
berbasiskan masyarakat (community-based
education) yang telah lama diselenggarakan oleh kaum muslimin Indonesia.
Hal ini logis, karena pendirian lembaga-lembaga pendidikan itu berkaitan erat
dengan motivasi keagamaan untuk menyediakan pendidikan Islam guna mendidik
putera-puteri mereka. Akan tetapi, kontras dengan kenyataan historis di atas,
dunia pesantren saat ini sedang menghadapi stigma buruk pasca peristiwa
September 11 Attacks. Peristiwa
serangan tersebut telah merubah wajah pesantren yang tadinya disanjung menjadi
dicurigai karena disinyalir memiliki kontribusi dalam melahirkan patriotisme
teroris menyusul maraknya peledakan bom bunuh diri di Indonesia.
Stigmatisasi dunia
pesantren seperti itu telah memperburuk wajah pendidikan Islam. Pada umumnya
tokoh-tokoh pesantren, seperti ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, melakukan protes
keras terhadap rencana pemerintah melalui institusi POLRI untuk mengambil sidik
jari komunitas santri karena alasan keamanan. Hal ini telah melukai hati
komunitas pesantren karena suatu dugaan buruk yang dialamatkan kepada mereka.
Padahal dunia pesantren secara institusional menepis keras dugaan bahwa
kurikulum yang diajarkan di pesantren mengandung ideologi terorisme. Kalaupun
ada pelaku terorisme yang tertangkap dan mengaku memiliki latar belakang
pesantren dapat dipastikan bahwa mereka itu telah terkontaminasi dengan
lingkungan lain di luar pesantren, bukan karena didikan yang diperolehnya di
pesantren.
C.
Kondisi Lembaga Pendidikan Islam dan Tantangan Perubahan
Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, maka kita semua
bertanggung jawab serta berkepentingan untuk menyajikan gagasan/ide tentang
perlunya sebuah perubahan. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa pendidikan
Islam di Indonesia sesungguhnya memerlukan sebuah penegasan akan eksistensinya,
khususnya bila dilihat dari sudut kelembagaan. Dengan kata lain, dibutuhkan
rekonstruksi, yang dalam hal ini mencakup dua hal: pertama, rekonstruksi atas
cara pandang “semua kalangan” (eksekutif, legislatif, politisi, ilmuwan,
birokrat, dan sebagainya) tentang pendidikan Islam; kedua, memosisikan
institusi/lembaga pendidikan Islam secara wajar dalam konteks tatanan/kebijakan
pendidikan nasional.
Rekonstruksi atas cara pandang terhadap pendidikan Islam,
menjadi tema yang patut dicermati secara tajam, sebab ada kecenderungan
perbedaan pemahaman tentang pendidikan Islam pada sementara kalangan khususnya
di pihak pemerintah.
Kalangan pemerintah memiliki cara pandang yang berbeda,
sehingga membuat kebijakan berdasarkan cara pandang mereka sendiri. Dalam
tataran praktis hal ini menimbulkan ketidakadilan, misalnya bagi
lembaga-lembaga pendidikan Islam. Jika dilihat dari Departemen Agama, seperti
dikutif Azyumardi Azra, bahwa peranan pemerintah terhadap lembaga-lembaga
pendidikan Islam sejak awal kemerdekaan sampai sekarang dapat dikatakan sangat
minimal. Data dari Departemen Agama menunjukkan bahwa MI swasta mencapai 95,2
persen sedangkan MIN hanya 4,8 persen. Keadaan ini terbalik dengan Sekolah
Dasar Negeri yang berjumlah 93,1 persen dan SD swasta hanya 6,9 persen. Pada
tingkat MTs terdapat 75,7 MTs swasta dan hanya 24,3 MTsN. Sedangkan SMPN
berjumlah 44,9 persen berbanding 55,1 persen SMP swasta. Pada tingkat
selanjutnya terdapat 70 persen MA swasta berbanding 30 persen MAN. Sedangkan
SMUN berjumlah 30,5 persen berbanding SMU swasta sebanyak 69, 4 persen.
Kontras dengan inisiatif dan kontribusi kaum muslimin dalam
menyelenggarakan community based
education adalah kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif dalam
penganggaran dan pendanaan pemerintah terhadap subsidi perkapita bagi anak-anak
bangsa yang belajar pada lembaga-lembaga pendidikan Islam. Sementara sebahagian
besar penyelenggara pendidikan swasta Islam menghadapi kesulitan dan
keterbatasan, kepincangan anggaran bantuan atau subsidi dari pemerintah
mengakibatkan mutu pendidikan Islam sangat rendah. Kebanyakan madrasah-madrasah
swasta bukan hanya tidak mampu memiliki prasarana dan sarana pendidikan yang
memadai, tetapi juga tidak mampu memberikan imbalan yang memadai bagi para guru
dan tenaga kependidikan lainnya. Akibatnya madrasah-madrasah swasta ini hanya
mampu memiliki jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya secara sangat
terbatas, dan itu pun dengan imbalan sekedarnya.
Menurut Azra, situasi tersebut mengakibatkan banyak guru
dan tenaga kependidikan yang salah kamar (mismatch),
kualitas keilmuan yang tidak memadai (unqualified
atau underqualified).
Menurut Husni Rahim (2005: 37), Madrasah biasanya menerima
murid dari kalangan rakyat bawah, maka hampir seluruh madrasah hanya memungut
bayaran sekolah “sekedarnya”. Malah kadang-kadang cukup dibayar dengan
singkong, pepaya dan sejenisnya. Dana yang dikumpulkan masyarakat muslim dalam
pengembangan madrasah sangat terbatas, sementara biaya pendidikan semakin
mahal, sehingga tuntutan untuk terus menerus menyesuaikan diri dengan
perkembangan IPTEK menyebabkan madrasah ketinggalan terus. Pada umumnya
madrasah swasta berada dalam keadaan serba kekurangan karena menampung
siswa-siswa dari ekonomi lemah. Akibatnya biaya untuk menunjang proses belajar
mengajar dengan menggunakan berbagai fasilitas dan teknologi tidak dapat
dilakukan.
Dalam kondisi yang memprihatinkan seperti itu, bisa
dipahami kalau gagasan dan rencana desentralisasi dan penempatan di bawah “satu
atap” Departemen Pendidikan nasional menimbulkan kekhawatiran lebih lanjut.
Kedua, gagasan itu bukan hanya mengandung komplikasi kelembagaan dan struktur,
tetapi pada gilirannya juga dapat memengaruhi masa depan dan eksistensi
pendidikan Islam.
Situasi di atas, merupakan gambaran dari dikotomi
kelembagaan dan subtansial antara pendidikan agama dan keagamaan dengan
pendidikan umum yang harus direkonstruksi sehingga diskriminasi yang selama ini
terjadi—karena cara pandang yang tidak berimbang—dapat diminimalisir, jika
tidak dapat dihilangkan sama sekali.
Masalah kedua yang dihadapi oleh pendidikan Islam adalah
dari sisi kelembagaan. Pertanyaannya adalah mengapa lembaga pendidikan Islam di
Indonesia, sebagai agent of change
masyarakat Islam seolah-olah tidak berdaya dan tidak mampu duduk sejajar dengan
pendidikan lainnya, bahkan dianggap sebagai pendidikan kelas dua. Dalam
realitasnya justru pendidikan Islam belum responsif terhadap tuntutan hidup
manusia dan masih menghadapi masalah-masalah kompleks. Hal ini dapat dilihat
dari ketertinggalan dengan pendidikan lainnya, baik secara kuantitatif, maupun
secara kualitatif yang belum meraih keunggulan kompetitif, sehingga masih
cenderung dilabelkan sebagai pendidikan kelas dua. Memang terasa janggal, dalam
suatu komunitas masyarakat muslim terbesar dan memiliki sejarah panjang dalam
perjalanan pendidikan Islam di Indonesia, justru pendidikan Islam tersisih dari
mainstream sistem pendidikan
nasional.
Menurut Azra (2002: 59-60), ada beberapa fenomena yang
menyebabkan pendidikan Islam selalu berada dalam lingkaran tersingkirkan. Pertama, pendidikan Islam sering
terlambat untuk merespon perubahan dan kecenderungan perkembangan masyarakat,
sekarang dan masa datang. Kedua,
sistem pendidikan Islam kebanyakan masih cenderung mengorientasikan diri pada
bidang-bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial ketimbang ilmu-ilmu eksakta
semacam fisika, kimia, biologi, dan matematika moderen. Ketiga, usaha pembaruan dan peningkatan sistem pendidikan Islam
sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak komprehensif dan menyeluruh yang
hanya dilakukan sekenanya atau seingatnya, sehingga tidak terjadi perubahan
secara esensial di dalamnya. Keempat,
sistem pendidikan Islam tetap cenderung berorientasi ke masa silam ketimbang
berorientasi ke masa depan atau kurang bersifat future oriented. Kelima,
sebahagian besar pendidikan Islam belum dikelola secara profesional baik dalam
perencanaan, penyiapan tenaga pengajar, kurikulum maupun pelaksanaan
pendidikannya, sehingga kalah bersaing dengan yang lainnya.
Oleh karena itu, hal yang perlu digarisbawahi adalah
perlunya para pemikir dan pengelola pendidikan Islam untuk bersikap proaktif
dalam merespon perubahan dan kecenderungan perkembangan masyarakat kini dan
masa datang, dengan tidak terpaku pada pemikiran sempit tentang ruang lingkup
pendidikan Islam.
D.
Upaya Rekonstruksi Lembaga Pendidikan Islam
Lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20
tahun 2003, boleh jadi telah membuka peluang yang lebih luas bagi pengembangan
pendidikan Islam menjadi lebih maju. Banyak pihak merasa bahwa Undang-Undang
SISDIKNAS yang baru secara konseptual merupakan titik balik pencerahan dalam
mengembangkan, memberdayakan serta meningkatkan sistem pendidikan Islam di
Indonesia. Undang-undang tersebut dalam konteks peningkatan kualitas menjadi
sangat relevan. Harapan bagi pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, seolah
menemukan energi baru.
Seperti dipahami bahwa di dalam Undang-Undang SISDIKNAS
telah memberikan perspektif baru yang revolusioner bagi perbaikan sektor
pendidikan, dimana pendidikan telah menjadi urusan publik secara umum dengan
mengurangi otoritas pemerintah, baik bertalian dengan kebijakan kurikulum,
manajemen, dan berbagai kebijakan pengembangan institusi pendidikan itu
sendiri. Undang-undang SISDIKNAS dipandang sebagai salah satu bentuk reformasi
di bidang pendidikan.
Karena itu, banyak kalangan menilai bahwa sudah saatnya
pendidikan Islam lebih bersikap rasional dan lebih berorientasi pada kebutuhan
masyarakat luas. Apalagi sekarang ini, yang menjadi mainstream pemikiran pendidikan adalah mempersiapkan sumber daya
manusia di masa datang, dan bukan semata-mata sebagai alat untuk membangun
pengaruh politik atau alat dakwah dalam arti sempit Kurang tertariknya
masyarakat untuk memilih lembaga-lembaga pendidikan Islam bukan karena telah
terjadi pergeseran nilai atau ikatan keagamaannya yang mulai memudar, melainkan
karena sebahagian besar kurang menjanjikan masa depan dan kurang responsif
terhadap tuntutan saat ini maupun saat yang akan datang. Padahal paling tidak
ada tiga hal yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih lembaga
pendidikan, yaitu nilai (agama), status sosial, dan cita-cita.
Oleh karena itu, kalau kita ingin menatap masa depan serta
peran pendidikan Islam yang lebih artikulatif di masa datang, maka perlu ada
keterbukaan wawasan dan keberanian di dalam memecahkan masalah-masalahnya
secara mendasar dan menyeluruh yang berkaitan dengan: pertama, kejelasan antara
yang dicita-citakan dengan langkah-langkah operasionalnya; Kedua, pemberdayaan
(empowering) kelembagaan yang ada
dengan menata kembali sistemnya; Ketiga, perbaikan, pembaruan dan pengembangan
dalam sistem pengelolaan dan manajemennya; Keempat, peningkatan sumber daya
manusia yang diperlukan.
BAB III
PENUTUP
Dalam beberapa tahun
terakhir, meskipun secara jumlah lembaga pendidikan Islam mengalami
peningkatan, namun sebagian besar lembaga pendidikan Islam belum dikelola
secara profesional baik dalam perencanaan, penyiapan tenaga pengajar, kurikulum
maupun pelaksanaan pendidikannya. Hal ini menyebabkan lembaga pendidikan Islam
belum memiliki daya saing yang tinggi sehingga menuntut adanya rekonstruksi
lembaga pendidikan Islam.
Pasca lahirnya Undang-Undang
SISDIKNAS tahun 2003 yang memberikan landasan yuridis yang kokoh bagi lembaga
pendidikan Islam, maka diperlukan rekonstruksi dalam pengembangan lembaga
pendidikan Islam. Secara sederhana dibutuhkan rekonstruksi, yang dalam hal ini
mencakup dua hal: pertama, rekonstruksi atas cara pandang “semua kalangan”
(eksekutif, legislatif, politisi, ilmuwan, birokrat, dan sebagainya) tentang
pendidikan Islam, dan kedua, memosisikan institusi/lembaga pendidikan Islam
secara wajar dalam konteks tatanan/kebijakan pendidikan nasional.
Lembaga pendidikan Islam
dengan berbagai aset yang dimilikinya memiliki peluang untuk memberikan layanan
pendidikan yang lebih komprehensif jika mampu melahirkan keluaran pendidikan
yang memiliki berbagai kompetensi, keterampilan, dan berakhlak mulia.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, A. (2002). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi
Menuju Millenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Bakar, U.A. dan
Surohim. (2005). Fungsi Ganda Lembaga
Pendidikan Islam: Respon Kreatif terhadap Undang-Undang SISDIKNAS.
Yogyakarta: Safiria Insani Pres.
Barizi, A. (ed).
(2005). Holistika Pemikiran Pendidikan A.
Malik Fadjar. Jakarta: Rajawali-UIN Malang Press.
Fadjar, M. (1999). Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta:
Fajar Dunia.
H. A. Mustafa dan
Abdullah Ally, Sejarah Pendidikan Islam
di Indonesia, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998)
Hasbullah, kapita Selekta Pendidikan Indonesia, (Bandung: Grafindo Persada,
1996)
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,(Jakarta:
Raja Grafindo, 1999)
Rahim, H. (2005). Madrasah dalam Politik Pendidikan di
Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Suharto, T. (2005). Rekonstruksi dan Modernisasi: Menuju
Revitalisasi Lembaga Pendidikan Islam. Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004)
Zuhairini, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar