Rabu, 26 Oktober 2016

MAKALAH POTRET PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN


A.        Latar belakang
Berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, sangatlah erat hubungannya dengan kedatangan Islam itu sendiri ke Indonesia. Dalam konteks ini, Mahmud Yunus mengatakan, bahwa sejarah pendidikan Islam sama tuanya dengan masuknya Islam ke Indonesia. Hal ini disebabkan karena pemeluk agama Islam yang kala itu masih tergolong baru, maka sudah pasti akan mempelajari dan memahami tentang ajaran-ajaran Islam. Meski dalam pengertian sederhana, namun proses pembelajaran waktu itu telah terjadi. Dari sinilah mulai timbul pendidikan Islam, dimana pada mulanya mereka belajar di rumah-rumah, langgar/surau, masjid dan kemudian berkembang menjadi pondok pesantren. Setelah itu baru timbul sistem madrasah yang teratur sebagaimana yang dikenal sekarang ini.
Fomulasi pendidikan dalam Islam sebenarnya sangatlah variatif. Di Indonesia misalnya, ada banyak bentuk dan jenis lembaga pendidikan Islam. Sebut saja Pondok Pesantren, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), Madrasah, Perguruan Tinggi Islam dan sebagainya. Dinamika sejumlah pendidikan yang dulu terkesan terbelakang itu kini tengah mulai menunjukkan eksistensinya. Fenomena transformasi pendidikan Islam itu kini semakin terbuka, inovatif dan modern dengan aneka wajah barunya yang dinamis. Namun bukan berarti potensi problematika dan tantangan pendidikan Islam ke depan sudah tidak ada dan tidak akan muncul kembali.
Oleh karena itu, penulis menyusun makalah ini dalam rangka memahami posisi pendidikan Islam di tengah-tengah semangat reformasi pendidikan nasional.

B.         Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kondisi pendidikan Islam dalam realitasnya?
2.      Bagaimana tentang isu pesantren dan terorisme?
3.      Bagaimana kondisi lembaga pendidikan Islam dan tantangan perubahannya?
4.      Bagaimana upaya rekonstruksi lembaga pendidikan Islam?

C.        Tujuan Penulisan Makalah
1.       Mengetahui kondisi pendidikan Islam dalam realitasnya.
2.       Memahami tenang isu pesantren dan terorisme.
3.       Mengetahui kondisi lembaga pendidikan Islam dan tantangan perubahannya.
4.       Mengetahui upaya rekonstruksi lembaga pendidikan Islam.

BAB II
PEMBAHASAN


A.        Pendidikan Islam dalam Realitas
Perjuangan umat Islam untuk mensejajarkan pendidikan Islam dengan pendidikan umum sebenarnya sudah lama dimulai, tetapi hingga saat ini pendidikan Islam dapat dikatakan masih harus diperjuangkan terus untuk mewujudkan maksud tersebut. Hal ini disebabkan oleh eksistensi pendidikan Islam yang sering kali harus berhadapan dengan negara. Artinya, kebijakan politik pemerintah tentang pendidikan Islam dapat dikatakan tidak kondusif. Pendidikan Islam barulah mendapat perhatian yang cukup signifikan setelah lahirnya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989 dan lebih dikukuhkan lagi oleh lahirnya Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam undang-undang yang terakhir ini secara jelas terasa kesan kuat adanya pengakuan pemerintah secara eksplisit terhadap keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Islam, mulai dari jenjang taman kanak-kanak sampai dengan jenjang perguruan tinggi. Akan tetapi, pengakuan pemerintah yang lebih bersifat normatif ini masih dicederai oleh tidak berimbangnya alokasi dana pendidikan untuk lembaga pendidikan yang berada di bawah pengelolaan Departemen Agama dibandingkan dengan yang berada di bawah pengelolaan Departemen Pendidikan Nasional.
Jika dilihat dari kebijakan politik pendidikan pemerintahan Indonesia, maka realitas pendidikan Islam dapat dipetakan ke dalam empat periode. Pertama, kebijakan politik pemerintahan pada masa pra kemerdekaan; kedua, kebijakan politik pemerintahan Indonesia pada masa Orde Lama; ketiga, kebijakan politik pemerintahan Indonesia pada masa Orde Baru, dan; keempat, kebijakan politik pemerintahan Indonesia pada masa reformasi.
1.      Kebijakan politik pemerintahan pada masa pra kemerdekaan;
Ciri kebijakan politik pendidikan Islam pada periode pertama ditandai oleh politik diskriminatif yang sangat kental. Hal tersebut terjadi oleh karena pada periode ini, pemerintahan dipegang dan dijalankan oleh kaum penjajah, sehingga perilaku diskriminatif bukan saja ditujukan kepada pendidikan Islam, tetapi juga kepada umat Islam pada umumnya dan rakyat secara keseluruhan. Sudah menjadi stigma umum bahwa negara yang dijajah oleh Belanda selalu terpuruk dalam kebodohan dan keterbelakangan. Hal ini berbeda dengan negara-negara yang dijajah oleh Inggris yang relatif lebih maju dan tercerahkan. Walaupun begitu, tidak ada satupun negara di dunia ini yang mau dijajah oleh negara lain, termasuk oleh negara Inggris sekalipun.

2.      Kebijakan politik pemerintahan Indonesia pada masa Orde Lama;
Berbeda dengan periode pertama, pada periode kedua yaitu pada masa Orde Lama, pendidikan Islam sudah mulai mendapatkan perhatian, seperti adanya upaya memperbarui dan memperbanyak lembaga pendidikan Islam yang lebih bermutu sejalan dengan tuntutan zaman.
Walaupun begitu, upaya tersebut dalam kenyataan tidaklah berjalan mulus. Sebab, ketika itu pemerintah Orde Lama mengakomodasi tiga kekuatan-nasionalis, sekularis-komunis, dan islamis yang saling tarik menarik dan tentu saja kelompok sekularis-komunis sangat menentang pemberdayaan umat Islam, termasuk pendidikan Islam. Hal ini logis mengingat idiologi komunis sangat bertentangan dengan idiologi yang dianut oleh kalangan islamis.

3.      Kebijakan politik pemerintahan Indonesia pada masa Orde Baru;
Sejak berkuasanya Orde Baru tahun 1966, umat Islam banyak berharap agar wajah pendidikan Islam mendapat perhatian yang serius. Akan tetapi, harapan ini juga belum terwujud karena banyak kebijakan politik pemerintahan Orde Baru yang terkadang kurang sejalan dengan keinginan umat Islam. Hal ini disebabkan karena pemerintahan Orde Baru terlalu kuat didukung oleh militer yang bekerja sama dengan teknokrat dan birokrat sipil.
Dukungan militer yang terlalu kuat ini menyebabkan pemerintah kurang tertarik memberi perhatian yang memadai terhadap berbagai keinginan umat Islam. Barulah pada awal tahun 1990-an, ketika dukungan militer kepada pemerintah banyak menuai kritik, maka pemerintah pun berpaling kepada umat Islam dengan memberi perhatian signifikan untuk mendapatkan simpati.

4.      Kebijakan politik pemerintahan Indonesia pada masa reformasi
Kini, pendidikan Islam telah memasuki periode keempat yang lebih dikenal dengan periode reformasi. Periode ini di antaranya ditandai oleh semakin berkembangnya wacana demokrasi. Sebagai contoh dapat dilihat dari lenyapnya berbagai aturan yang dipandang sangat memasung kebebasan mahasiswa dalam melakukan berbagai kreativitasnya. Mereka dapat merancang berbagai program sesuai dengan aspirasi yang berkembang. Walaupun begitu, harus pula diakui bahwa masih ada sejumlah kebijakan yang pernah diterapkan oleh orde sebelumnya masih belum sepenuhnya dihapus. Sentralisasi pendidikan seperti dalam hal kurikulum, ujian, akreditasi, anggaran, dan berbagai aturan lainnya belum jauh berbeda dengan yang pernah diterapkan oleh Pemerintah Orde Baru.

B.         Pesantren dan Terorisme
Di masa lalu, ketika bangsa ini masih menghadapi penindasan kaum penjajah, pesantren telah memainkan peranan penting berupa menggerakkan, memimpin, dan melakukan perjuangan dalam rangka mengusir kaum penjajah. Seorang pakar sejarah dari Universitas Padjadjaran, Muhammad Mansur Suryanegara, sebagaimana dikutip Ahmad Tafsir, menyatakan bahwa sulit mencari gerakan melawan penjajah di Indonesia yang bukan digerakkan dan dipimpin oleh orang pesantren. Oleh karena itu, dalam mengisi kemerdekaan ini, pemerintah seringkali menggunakan pesantren untuk melakukan sosialisasi berbagai programnya. Hal ini wajar, sebab pesantren secara riil memang memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap komunitasnya dan masyarakat sekitar.
Apalagi institusi pesantren, sebagaimana disinyalir Azra, termasuk salah satu lembaga pendidikan berbasiskan masyarakat (community-based education) yang telah lama diselenggarakan oleh kaum muslimin Indonesia. Hal ini logis, karena pendirian lembaga-lembaga pendidikan itu berkaitan erat dengan motivasi keagamaan untuk menyediakan pendidikan Islam guna mendidik putera-puteri mereka. Akan tetapi, kontras dengan kenyataan historis di atas, dunia pesantren saat ini sedang menghadapi stigma buruk pasca peristiwa September 11 Attacks. Peristiwa serangan tersebut telah merubah wajah pesantren yang tadinya disanjung menjadi dicurigai karena disinyalir memiliki kontribusi dalam melahirkan patriotisme teroris menyusul maraknya peledakan bom bunuh diri di Indonesia.
Stigmatisasi dunia pesantren seperti itu telah memperburuk wajah pendidikan Islam. Pada umumnya tokoh-tokoh pesantren, seperti ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, melakukan protes keras terhadap rencana pemerintah melalui institusi POLRI untuk mengambil sidik jari komunitas santri karena alasan keamanan. Hal ini telah melukai hati komunitas pesantren karena suatu dugaan buruk yang dialamatkan kepada mereka. Padahal dunia pesantren secara institusional menepis keras dugaan bahwa kurikulum yang diajarkan di pesantren mengandung ideologi terorisme. Kalaupun ada pelaku terorisme yang tertangkap dan mengaku memiliki latar belakang pesantren dapat dipastikan bahwa mereka itu telah terkontaminasi dengan lingkungan lain di luar pesantren, bukan karena didikan yang diperolehnya di pesantren.

C.        Kondisi Lembaga Pendidikan Islam dan Tantangan Perubahan
Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, maka kita semua bertanggung jawab serta berkepentingan untuk menyajikan gagasan/ide tentang perlunya sebuah perubahan. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa pendidikan Islam di Indonesia sesungguhnya memerlukan sebuah penegasan akan eksistensinya, khususnya bila dilihat dari sudut kelembagaan. Dengan kata lain, dibutuhkan rekonstruksi, yang dalam hal ini mencakup dua hal: pertama, rekonstruksi atas cara pandang “semua kalangan” (eksekutif, legislatif, politisi, ilmuwan, birokrat, dan sebagainya) tentang pendidikan Islam; kedua, memosisikan institusi/lembaga pendidikan Islam secara wajar dalam konteks tatanan/kebijakan pendidikan nasional.
Rekonstruksi atas cara pandang terhadap pendidikan Islam, menjadi tema yang patut dicermati secara tajam, sebab ada kecenderungan perbedaan pemahaman tentang pendidikan Islam pada sementara kalangan khususnya di pihak pemerintah.
Kalangan pemerintah memiliki cara pandang yang berbeda, sehingga membuat kebijakan berdasarkan cara pandang mereka sendiri. Dalam tataran praktis hal ini menimbulkan ketidakadilan, misalnya bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam. Jika dilihat dari Departemen Agama, seperti dikutif Azyumardi Azra, bahwa peranan pemerintah terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam sejak awal kemerdekaan sampai sekarang dapat dikatakan sangat minimal. Data dari Departemen Agama menunjukkan bahwa MI swasta mencapai 95,2 persen sedangkan MIN hanya 4,8 persen. Keadaan ini terbalik dengan Sekolah Dasar Negeri yang berjumlah 93,1 persen dan SD swasta hanya 6,9 persen. Pada tingkat MTs terdapat 75,7 MTs swasta dan hanya 24,3 MTsN. Sedangkan SMPN berjumlah 44,9 persen berbanding 55,1 persen SMP swasta. Pada tingkat selanjutnya terdapat 70 persen MA swasta berbanding 30 persen MAN. Sedangkan SMUN berjumlah 30,5 persen berbanding SMU swasta sebanyak 69, 4 persen.
Kontras dengan inisiatif dan kontribusi kaum muslimin dalam menyelenggarakan community based education adalah kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif dalam penganggaran dan pendanaan pemerintah terhadap subsidi perkapita bagi anak-anak bangsa yang belajar pada lembaga-lembaga pendidikan Islam. Sementara sebahagian besar penyelenggara pendidikan swasta Islam menghadapi kesulitan dan keterbatasan, kepincangan anggaran bantuan atau subsidi dari pemerintah mengakibatkan mutu pendidikan Islam sangat rendah. Kebanyakan madrasah-madrasah swasta bukan hanya tidak mampu memiliki prasarana dan sarana pendidikan yang memadai, tetapi juga tidak mampu memberikan imbalan yang memadai bagi para guru dan tenaga kependidikan lainnya. Akibatnya madrasah-madrasah swasta ini hanya mampu memiliki jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya secara sangat terbatas, dan itu pun dengan imbalan sekedarnya.
Menurut Azra, situasi tersebut mengakibatkan banyak guru dan tenaga kependidikan yang salah kamar (mismatch), kualitas keilmuan yang tidak memadai (unqualified atau underqualified).
Menurut Husni Rahim (2005: 37), Madrasah biasanya menerima murid dari kalangan rakyat bawah, maka hampir seluruh madrasah hanya memungut bayaran sekolah “sekedarnya”. Malah kadang-kadang cukup dibayar dengan singkong, pepaya dan sejenisnya. Dana yang dikumpulkan masyarakat muslim dalam pengembangan madrasah sangat terbatas, sementara biaya pendidikan semakin mahal, sehingga tuntutan untuk terus menerus menyesuaikan diri dengan perkembangan IPTEK menyebabkan madrasah ketinggalan terus. Pada umumnya madrasah swasta berada dalam keadaan serba kekurangan karena menampung siswa-siswa dari ekonomi lemah. Akibatnya biaya untuk menunjang proses belajar mengajar dengan menggunakan berbagai fasilitas dan teknologi tidak dapat dilakukan.
Dalam kondisi yang memprihatinkan seperti itu, bisa dipahami kalau gagasan dan rencana desentralisasi dan penempatan di bawah “satu atap” Departemen Pendidikan nasional menimbulkan kekhawatiran lebih lanjut. Kedua, gagasan itu bukan hanya mengandung komplikasi kelembagaan dan struktur, tetapi pada gilirannya juga dapat memengaruhi masa depan dan eksistensi pendidikan Islam.
Situasi di atas, merupakan gambaran dari dikotomi kelembagaan dan subtansial antara pendidikan agama dan keagamaan dengan pendidikan umum yang harus direkonstruksi sehingga diskriminasi yang selama ini terjadi—karena cara pandang yang tidak berimbang—dapat diminimalisir, jika tidak dapat dihilangkan sama sekali.
Masalah kedua yang dihadapi oleh pendidikan Islam adalah dari sisi kelembagaan. Pertanyaannya adalah mengapa lembaga pendidikan Islam di Indonesia, sebagai agent of change masyarakat Islam seolah-olah tidak berdaya dan tidak mampu duduk sejajar dengan pendidikan lainnya, bahkan dianggap sebagai pendidikan kelas dua. Dalam realitasnya justru pendidikan Islam belum responsif terhadap tuntutan hidup manusia dan masih menghadapi masalah-masalah kompleks. Hal ini dapat dilihat dari ketertinggalan dengan pendidikan lainnya, baik secara kuantitatif, maupun secara kualitatif yang belum meraih keunggulan kompetitif, sehingga masih cenderung dilabelkan sebagai pendidikan kelas dua. Memang terasa janggal, dalam suatu komunitas masyarakat muslim terbesar dan memiliki sejarah panjang dalam perjalanan pendidikan Islam di Indonesia, justru pendidikan Islam tersisih dari mainstream sistem pendidikan nasional.
Menurut Azra (2002: 59-60), ada beberapa fenomena yang menyebabkan pendidikan Islam selalu berada dalam lingkaran tersingkirkan. Pertama, pendidikan Islam sering terlambat untuk merespon perubahan dan kecenderungan perkembangan masyarakat, sekarang dan masa datang. Kedua, sistem pendidikan Islam kebanyakan masih cenderung mengorientasikan diri pada bidang-bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial ketimbang ilmu-ilmu eksakta semacam fisika, kimia, biologi, dan matematika moderen. Ketiga, usaha pembaruan dan peningkatan sistem pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak komprehensif dan menyeluruh yang hanya dilakukan sekenanya atau seingatnya, sehingga tidak terjadi perubahan secara esensial di dalamnya. Keempat, sistem pendidikan Islam tetap cenderung berorientasi ke masa silam ketimbang berorientasi ke masa depan atau kurang bersifat future oriented. Kelima, sebahagian besar pendidikan Islam belum dikelola secara profesional baik dalam perencanaan, penyiapan tenaga pengajar, kurikulum maupun pelaksanaan pendidikannya, sehingga kalah bersaing dengan yang lainnya.
Oleh karena itu, hal yang perlu digarisbawahi adalah perlunya para pemikir dan pengelola pendidikan Islam untuk bersikap proaktif dalam merespon perubahan dan kecenderungan perkembangan masyarakat kini dan masa datang, dengan tidak terpaku pada pemikiran sempit tentang ruang lingkup pendidikan Islam.

D.        Upaya Rekonstruksi Lembaga Pendidikan Islam
Lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, boleh jadi telah membuka peluang yang lebih luas bagi pengembangan pendidikan Islam menjadi lebih maju. Banyak pihak merasa bahwa Undang-Undang SISDIKNAS yang baru secara konseptual merupakan titik balik pencerahan dalam mengembangkan, memberdayakan serta meningkatkan sistem pendidikan Islam di Indonesia. Undang-undang tersebut dalam konteks peningkatan kualitas menjadi sangat relevan. Harapan bagi pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, seolah menemukan energi baru.
Seperti dipahami bahwa di dalam Undang-Undang SISDIKNAS telah memberikan perspektif baru yang revolusioner bagi perbaikan sektor pendidikan, dimana pendidikan telah menjadi urusan publik secara umum dengan mengurangi otoritas pemerintah, baik bertalian dengan kebijakan kurikulum, manajemen, dan berbagai kebijakan pengembangan institusi pendidikan itu sendiri. Undang-undang SISDIKNAS dipandang sebagai salah satu bentuk reformasi di bidang pendidikan.
Karena itu, banyak kalangan menilai bahwa sudah saatnya pendidikan Islam lebih bersikap rasional dan lebih berorientasi pada kebutuhan masyarakat luas. Apalagi sekarang ini, yang menjadi mainstream pemikiran pendidikan adalah mempersiapkan sumber daya manusia di masa datang, dan bukan semata-mata sebagai alat untuk membangun pengaruh politik atau alat dakwah dalam arti sempit Kurang tertariknya masyarakat untuk memilih lembaga-lembaga pendidikan Islam bukan karena telah terjadi pergeseran nilai atau ikatan keagamaannya yang mulai memudar, melainkan karena sebahagian besar kurang menjanjikan masa depan dan kurang responsif terhadap tuntutan saat ini maupun saat yang akan datang. Padahal paling tidak ada tiga hal yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan, yaitu nilai (agama), status sosial, dan cita-cita.
Oleh karena itu, kalau kita ingin menatap masa depan serta peran pendidikan Islam yang lebih artikulatif di masa datang, maka perlu ada keterbukaan wawasan dan keberanian di dalam memecahkan masalah-masalahnya secara mendasar dan menyeluruh yang berkaitan dengan: pertama, kejelasan antara yang dicita-citakan dengan langkah-langkah operasionalnya; Kedua, pemberdayaan (empowering) kelembagaan yang ada dengan menata kembali sistemnya; Ketiga, perbaikan, pembaruan dan pengembangan dalam sistem pengelolaan dan manajemennya; Keempat, peningkatan sumber daya manusia yang diperlukan.







BAB III
PENUTUP


Dalam beberapa tahun terakhir, meskipun secara jumlah lembaga pendidikan Islam mengalami peningkatan, namun sebagian besar lembaga pendidikan Islam belum dikelola secara profesional baik dalam perencanaan, penyiapan tenaga pengajar, kurikulum maupun pelaksanaan pendidikannya. Hal ini menyebabkan lembaga pendidikan Islam belum memiliki daya saing yang tinggi sehingga menuntut adanya rekonstruksi lembaga pendidikan Islam.
Pasca lahirnya Undang-Undang SISDIKNAS tahun 2003 yang memberikan landasan yuridis yang kokoh bagi lembaga pendidikan Islam, maka diperlukan rekonstruksi dalam pengembangan lembaga pendidikan Islam. Secara sederhana dibutuhkan rekonstruksi, yang dalam hal ini mencakup dua hal: pertama, rekonstruksi atas cara pandang “semua kalangan” (eksekutif, legislatif, politisi, ilmuwan, birokrat, dan sebagainya) tentang pendidikan Islam, dan kedua, memosisikan institusi/lembaga pendidikan Islam secara wajar dalam konteks tatanan/kebijakan pendidikan nasional.
Lembaga pendidikan Islam dengan berbagai aset yang dimilikinya memiliki peluang untuk memberikan layanan pendidikan yang lebih komprehensif jika mampu melahirkan keluaran pendidikan yang memiliki berbagai kompetensi, keterampilan, dan berakhlak mulia.













DAFTAR PUSTAKA



Azra, A. (2002). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Bakar, U.A. dan Surohim. (2005). Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam: Respon Kreatif terhadap Undang-Undang SISDIKNAS. Yogyakarta: Safiria Insani Pres.
Barizi, A. (ed). (2005). Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar. Jakarta: Rajawali-UIN Malang Press.
Fadjar, M. (1999). Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Fajar Dunia.
H. A. Mustafa dan Abdullah Ally, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998)
Hasbullah, kapita Selekta Pendidikan  Indonesia, (Bandung: Grafindo Persada, 1996)
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,(Jakarta: Raja Grafindo, 1999)
Rahim, H. (2005). Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Suharto, T. (2005). Rekonstruksi dan Modernisasi: Menuju Revitalisasi Lembaga Pendidikan Islam. Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004)
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar